“Braaakk!!”
Tanpa ba bi bu lelaki tambun tersebut melayangkan tendangannya. Telak
mengenai ember bekas cat. Gelas-gelas plastik berukuran sedang yang tadinya
tersusun rapi di permukaan ember berterbangan, memuntahkan seluruh isinyanya.
Begitu juga yang berada di dalam ember, berhamburan, berserak memenuhi trotoar.
Seketika trotoar merah itu bercampur ungu. Ungu dimana-mana. Ibu muda pemilik buah benar-benar tercengang.
Kaget. Semua terjadi begitu cepat.
“Awak droe hanjeut tapeugah lagoe?” Teriak sang petugas lantang, seakan
tanpa penyesalan. Lelaki berpakaian serba
coklat tersebut terus menceramahi para pedagang dan menginstruksikan membuat
surat perjanjian untuk tidak berjualan lagi di sekitar Mesjid Raya Baiturrahman.
Miranti, nama wanita tersebut menatap
nanar dagangannya. Antara geram, marah, dan kesal bercampur aduk. Selesai sudah,
gumamnya. Buah berkulit lunak tersebut pantang
mendapat perlakukan kasar. Ketika daging buahnya terluka maka segera berair dan berubah warna. Jangan harap
ada yang sudi untuk membelinya, walau dengan harga sangat murah sekalipun.
Sang ibu mengisahkan
pengalamannya dengan getir. Bayangan peristiwa setahun lalu masih terpampang
nyata di memorinya. Namun banyak pedagang, termasuk dirinya masih saja nekat
berjualan di sekitar Masjid Raya. Bagaimana tidak? Pekarangan masjid paling
megah di Aceh itu menjadi tempat paling menjanjikan untuk berjualan. Tak butuh
waktu lama untuk membuat dagangan benar-benar habis, terkadang malah setengah
hari, “selepas dhuhur dan ashar adalah waktu yang paling banyak pembeli...,” kenangnya
sambil tersenyum.
Kenekatannya harus
dibayar dengan pengusiran yang entah untuk keberapa kali ia alami. Petugas
satpol PP memang tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena mereka hanya
menjalankan prosedur-mengamankan pekarangan mesjid dari pedagang kaki lima
seperti dirinya. Dan pengusiran yang bertepatan dengan tiga hari pasca hari
kemerdekaan menjadi pengusiran yang terakhir baginya, ia memutuskan pindah
lokasi “capek juga dikejar-kejar terus, mending saya cari tempat lain,”
celotehnya sambil tangannya telaten memasukkan buah jemblang, nama buah
tersebut, kedalam wadah gelas plastik untuk kemudian menjejerkannya diatas
kotak kaca serupa akuarium.
Trotoar simpang lima
akhirnya menjadi pilihan. Sekitar 10 meter dari Krueng Aceh, tiga langkah dari
Gereja Katolik Hati Kudus. Kurang lazim memang, apalagi di lokasi sekitar tidak
terdapat pedagang lain. “Disini tempatnya teduh. Buah jemblang ini unik, gak
bisa kena matahari langsung karena mudah merah dan berair,” terangnya, “kalau
satu saja berair maka yang lain juga akan rusak, tidak bisa dijual lagi.”
Seorang lelaki berhelm
hitam berjeans selutut tiba-tiba menepi “padum nyoe?”Tanyanya.
“Limong ribee,”
sahut wanita berbaju putih motif bunga-bunga kecil itu ramah. Tak lama
terjadilah transaksi, sang bapak membeli segelas dan meminta untuk memisahkan
bumbunya, yang merupakan campuran pliek u (patarana), garam, gula, dan cabai. Pecahan
lima ribupun berpindah tangan.
Berjualan buah yang di
Aceh dikenal dengan nama jambee kleng ini harus pandai-pandai dan jeli. Karena
wanita berjilbab hitam ini pun pernah merasakan rugi, akibat tidak berhati-hati
ketika membeli dari pemetik. Jemblang yang dibelinya ternyata ada yang rusak sehingga
semua tidak bisa dijual. Agar hal tersebut tidak terulang, ia menghindari
membeli pada malam hari, karena tidak
ketahuan ada yang rusak atau tidak. Namun keuntungan yang diperoleh apabila
dagangannya laku sangat lumayan, ia bisa meraup 150 ribu dalam sehari.
Pemetik memperoleh buah
yang masuk kedalam suku jambu-jambuan ini di Krueng Raya. Tumbuh liar tanpa
pemilik. Buah ini kaya vitamin A dan C serta memiliki banyak manfaat,
diantaranya sebagai obat kencing manis, batuk, diare, dan lainnya. Harga yang
dibanderol oleh pemetik untuk satu bambunya Rp. 8.000,-. Biasanya Miranti membeli
20 bambu sehari. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 8.00 ia sudah mulai berjualan
dan baru pulang ketika lampu-lampu jalan sudah dinyalakan- sekitar pukul
delapan malam. Bahkan terkadang kawan-kawan seprofesi (penjual jemblang- red.) ada
yang baru pulang jam sebelas malam.
Wanita yang berasal
dari Ujong Batee ini sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Apabila sudah
mulai masuk musim buah yang memiliki cita rasa sepat masam ini, yaitu sekitar
Bulan Juni, ia nyambi jualan. “Ya, sayang aja
kalau nggak jualan. Itung-itung bantu suami.” Ujarnya. Ia
menambahkan bahwa suaminya bekerja sebagai cleaning
service di salah satu kantor pemerintah Kota Banda Aceh.
Angin bergerak
perlahan, mengusik ranting dan dedaunan,
menciptakan gerakan perlahan bayang-bayang di trotoar. Putri bungsunya
yang berselimutkan batik tipis terlelap tenang, anak berumur satu tahunan itu
seakan tidak terusik dengan lalu lalang kendaraan tanpa henti dihadapannya.
Rizki, anak keduanya yang belum genap 4 tahun asik berceloteh riang sambil
sesekali membantu ibunya menyusun gelas yang telah terisi. Sedang anaknya yang
pertama sudah kelas dua Sekolah Dasar, apabila
ia berjualan, putranya tersebut dititipkan di rumah mertua.
Wanita berdarah
padang-aceh itu duduk bersila menatap kedepan, menyapa pengendara yang lewat
menawarkan buah yang memiliki nama
ilmiah Syzygium cumini ini. Sesekali
bercengkrama dengan anak keduanya yang lincah tidak bisa diam. Menjawab
berbagai pertanyaan kritisnya. Lain waktu ia membetulkan posisi selimut putri satu-satunya, dan kesibukan-kesibukan
kecil lainnya. Sandal jepit putih yang menjadi alas duduknya tampak kusam, namun
pendar wajahnya tampak optimis menatap hari, menunggu pembeli yang
jarang-jarang menepi. Kontras sekali dengan masa-masa ketika di pekarangan
Mesjid Raya, juga dengan kondisi Pante Perak di seberang jalan tempat ia jualan
sekarang-ramai dikunjungi, “yang namanya rizki ga akan kemana kan?” lirihnya
pelan, nada yang seakan mengandung harapan sekaligus mencari dukungan.