Social Icons

Pages

Featured Posts

Sunday, September 29, 2013

Menjaja Ungu di Simpang Lima



“Braaakk!!”
Tanpa ba bi bu lelaki tambun tersebut melayangkan tendangannya. Telak mengenai ember bekas cat. Gelas-gelas plastik berukuran sedang yang tadinya tersusun rapi di permukaan ember berterbangan, memuntahkan seluruh isinyanya. Begitu juga yang berada di dalam ember, berhamburan, berserak memenuhi trotoar. Seketika trotoar merah itu bercampur ungu. Ungu dimana-mana.  Ibu muda pemilik buah benar-benar tercengang. Kaget. Semua terjadi begitu cepat.

“Awak droe hanjeut tapeugah lagoe?” Teriak sang petugas lantang, seakan tanpa penyesalan.  Lelaki berpakaian serba coklat tersebut terus menceramahi para pedagang dan menginstruksikan membuat surat perjanjian untuk tidak berjualan lagi di sekitar Mesjid Raya Baiturrahman.

Miranti, nama wanita  tersebut menatap nanar dagangannya. Antara geram, marah, dan kesal bercampur aduk. Selesai sudah, gumamnya. Buah berkulit lunak tersebut  pantang mendapat perlakukan kasar. Ketika daging buahnya terluka maka  segera berair dan berubah warna. Jangan harap ada yang sudi untuk membelinya, walau dengan harga sangat murah sekalipun.

Sang ibu mengisahkan pengalamannya dengan getir. Bayangan peristiwa setahun lalu masih terpampang nyata di memorinya. Namun banyak pedagang, termasuk dirinya masih saja nekat berjualan di sekitar Masjid Raya. Bagaimana tidak? Pekarangan masjid paling megah di Aceh itu menjadi tempat paling menjanjikan untuk berjualan. Tak butuh waktu lama untuk membuat dagangan benar-benar habis, terkadang malah setengah hari, “selepas dhuhur dan ashar adalah waktu yang paling banyak pembeli...,” kenangnya sambil tersenyum. 

Kenekatannya harus dibayar dengan pengusiran yang entah untuk keberapa kali ia alami. Petugas satpol PP memang tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena mereka hanya menjalankan prosedur-mengamankan pekarangan mesjid dari pedagang kaki lima seperti dirinya. Dan pengusiran yang bertepatan dengan tiga hari pasca hari kemerdekaan menjadi pengusiran yang terakhir baginya, ia memutuskan pindah lokasi “capek juga dikejar-kejar terus, mending saya cari tempat lain,” celotehnya sambil tangannya telaten memasukkan buah jemblang, nama buah tersebut, kedalam wadah gelas plastik untuk kemudian menjejerkannya diatas kotak kaca serupa akuarium.

Trotoar simpang lima akhirnya menjadi pilihan. Sekitar 10 meter dari Krueng Aceh, tiga langkah dari Gereja Katolik Hati Kudus. Kurang lazim memang, apalagi di lokasi sekitar tidak terdapat pedagang lain. “Disini tempatnya teduh. Buah jemblang ini unik, gak bisa kena matahari langsung karena mudah merah dan berair,” terangnya, “kalau satu saja berair maka yang lain juga akan rusak, tidak bisa dijual lagi.”

Seorang lelaki berhelm hitam berjeans selutut tiba-tiba menepi “padum nyoe?”Tanyanya.
“Limong ribee,” sahut wanita berbaju putih motif bunga-bunga kecil itu ramah. Tak lama terjadilah transaksi, sang bapak membeli segelas dan meminta untuk memisahkan bumbunya, yang merupakan campuran pliek u (patarana), garam, gula, dan cabai. Pecahan lima ribupun berpindah tangan.

Berjualan buah yang di Aceh dikenal dengan nama jambee kleng ini harus pandai-pandai dan jeli. Karena wanita berjilbab hitam ini pun pernah merasakan rugi, akibat tidak berhati-hati ketika membeli dari pemetik. Jemblang yang dibelinya ternyata ada yang rusak sehingga semua tidak bisa dijual. Agar hal tersebut tidak terulang, ia menghindari membeli  pada malam hari, karena tidak ketahuan ada yang rusak atau tidak. Namun keuntungan yang diperoleh apabila dagangannya laku sangat lumayan, ia bisa meraup 150 ribu dalam sehari.

Pemetik memperoleh buah yang masuk kedalam suku jambu-jambuan ini di Krueng Raya. Tumbuh liar tanpa pemilik. Buah ini kaya vitamin A dan C serta memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai obat kencing manis, batuk, diare, dan lainnya. Harga yang dibanderol oleh pemetik untuk satu bambunya Rp. 8.000,-. Biasanya Miranti membeli 20 bambu sehari. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 8.00 ia sudah mulai berjualan dan baru pulang ketika lampu-lampu jalan sudah dinyalakan- sekitar pukul delapan malam. Bahkan terkadang kawan-kawan seprofesi (penjual jemblang- red.) ada yang baru pulang jam sebelas malam.

Wanita yang berasal dari Ujong Batee ini sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Apabila sudah mulai masuk musim buah yang memiliki cita rasa sepat masam ini, yaitu sekitar Bulan Juni, ia nyambi jualan. “Ya, sayang aja kalau nggak jualan. Itung-itung bantu suami.” Ujarnya. Ia menambahkan bahwa suaminya bekerja sebagai cleaning service di salah satu kantor pemerintah Kota Banda Aceh.

Angin bergerak perlahan, mengusik ranting dan dedaunan,  menciptakan gerakan perlahan bayang-bayang di trotoar. Putri bungsunya yang berselimutkan batik tipis terlelap tenang, anak berumur satu tahunan itu seakan tidak terusik dengan lalu lalang kendaraan tanpa henti dihadapannya. Rizki, anak keduanya yang belum genap 4 tahun asik berceloteh riang sambil sesekali membantu ibunya menyusun gelas yang telah terisi. Sedang anaknya yang pertama sudah kelas dua Sekolah Dasar,  apabila ia berjualan, putranya tersebut dititipkan di rumah mertua.  

Wanita berdarah padang-aceh itu duduk bersila menatap kedepan, menyapa pengendara yang lewat menawarkan buah yang  memiliki nama ilmiah Syzygium cumini ini. Sesekali bercengkrama dengan anak keduanya yang lincah tidak bisa diam. Menjawab berbagai pertanyaan kritisnya. Lain waktu ia membetulkan posisi selimut  putri satu-satunya, dan kesibukan-kesibukan kecil lainnya. Sandal jepit putih yang menjadi alas duduknya tampak kusam, namun pendar wajahnya tampak optimis menatap hari, menunggu pembeli yang jarang-jarang menepi. Kontras sekali dengan masa-masa ketika di pekarangan Mesjid Raya, juga dengan kondisi Pante Perak di seberang jalan tempat ia jualan sekarang-ramai dikunjungi, “yang namanya rizki ga akan kemana kan?” lirihnya pelan, nada yang seakan mengandung harapan sekaligus mencari dukungan.


Tuesday, September 24, 2013

Piyoh, Pembuktian Seorang Hijrah



Paris boleh berbangga dengan Eiffel-nya, Jakarta boleh berbangga dengan Monas-nya, namun Aceh pun kudu berbangga dengan Piyoh-nya (selain Mesjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami, dan PLTD Apung tentunya, hehe ). Mengapa Piyoh? Karena Piyoh menjadi trendsetter kaos dengan desain yang lain daripada yang lain. Piyoh mengusung tema-tema yang terasa sekali citarasa lokalnya. Tema desain yang diambil berkisar tempat-tempat wisata yang ada di Aceh, budaya, sejarah, dan juga  kata-kata yang cuma ada di Aceh seperti: ‘Eh, Malam’, ‘Cang Boh Panah’ dan ‘Bek Jampook Beuh’. 

Selain itu, dengan ide kreatif nya yang seakan tak bertepi, Hijrah, owner Piyoh ini berhasil menciptakan berbagai olah  kata yang bikin saya pribadi geleng-geleng kepala. Lihat saja apa yang tertulis pada salah satu desain kaosnya (dan ini menjadi salah satu favorit saya):


Hehe, kreatif kali kan?! Ia dengan cerdas mengganti kata WOW dengan WEH. Sehingga jadinya 'Trus aku harus bilang WEH gitu?' Mantaaaappp! 

Sebenarnya saya nggak begitu kaget dengan berbagai ide gila pria kelahiran 25 September 1984 ini. Dulu waktu kami sama-sama mengenyam pendidikan di SMA Modal Bangsa, saya mengikuti berbagai perkembangan kreativitasnya. Pada masa kami masih berseragam putih abu-abu tersebut, pria bernama lengkap Hijrah Saputra ini tergabung dalam tim redaksi majalah dinding (hanya orang-orang yang memiliki daya seni tinggi yang duduk didalamnya), selain itu ia juga tergabung dalam group dance yang tampil waktu acara perpisahan (masih ingat dance-nya Jrah? Kalau ga salah lagu pengiringnya Backstreet ya? Dan seingat saya waktu kalian nge-dance ada bagian angkat-angkat kursinya kan? BTW itu nge-dance atau lagi jadi panitia tempat? Hehe). Oya, selain itu, penyuka desain grafis ini semasa SMA juga pernah
Juara Harapan I Lomba Melukis Lingkungan Hidup Fakultas Teknik Unsyiah - See more at: http://atjehpost.com/read/2012/04/02/5663/16/16/Promosi-Wisata-Kreatif-Ala-Hijrah-Kakang-Kota-Malang-Asal-Sabang#sthash.VDORj0ky.dpuf
menjuarai (peringkat III) lomba karikatur  Islami yang diadakan Jurusan Arsitektur Unsyiah.

Kata ‘Piyoh’ merupakan kata dalam bahasa Aceh yang berarti mampir atau singgah. Pilihan bahasa Aceh sengaja diambil karena ingin memperkenalkan merk lokal ke luar, begitu alasan Duta Wisata Provinsi Aceh 2008 ini. Piyoh sendiri menunjukkan sikap ramah masyarakat Aceh dalam menyambut tamu yang datang ke Aceh. Adapun awal mula tercetusnya membangun usaha Piyoh, lanjutnya, dikarenakan kekecewaan seorang teman yang mengunjungi Sabang, dimana tidak ada souvenir (kaos) yang benar-benar berkualitas bagus untuk dijadikan oleh-oleh, apalagi desainnya pun monoton, itu-itu saja. Dengan adanya Piyoh, pria ramah ini berharap bisa memenuhi kebutuhan wisatawan yang datang ke Sabang untuk memperoleh souvenir yang berkualitas dan dengan desain yang beragam.

Selain tetap mempertahankan hospitality design (begitu ia menyebut untuk berbagai desainnya-yang bermakna keramahtamahan wisata), Hijrah sejak awal sudah menyadari pentingnya sebuah maskot sehingga terciptalah karakter Mr. Piyoh yang digambarkan sebagai seorang agam (pemuda dalam bahasan aceh) yang aktif, supel, dan peduli (kalo nggak salah saya bacanya di poster yang ada tulisan ‘pasangan perjuangan’, itu piyoh bukan ya?!) Tapi beneran Jrah, saya bisa mengatakan ‘peduli’ karena dari sorot mata Si Agam seakan-akan ia berkata: “Yuk bersih-bersih pantai,” atau “selamatkan penyu aceh...” #soktaumodeon.

piyoh.blogspot.com
Terus terang saya pribadi belum pernah mengunjungi Piyoh yang berada di Sabang (belum ada undangan resmi dari Papanya Piyoh. ngomong-ngomong kenapa hadiahnya nggak berupa jalan-jalan gratis ke Sabang aja Jrah? Nggak masalah saya juara harapan kesepuluh asal hadiahnya jalan-jalan gratis ke Sabang. Seumur-umur belum pernah ke Sabang. Orang jepang aja udah pernah...). Namun saya sudah beberapa kali mengunjungi Piyoh yang berlokasi di Ulee Kareng (UK). Keberadaan Mr. Piyoh (nama outletnya) yang bersebelahan dengan warung kopi paling tersohor di Aceh-Solong, seakan-akan ingin menunjukkan: “Ulee Kareng gak cuma identik dengan kopi, mennnn...” Hehe.

Outlet Mr Piyoh yang berada di UK memang kecil, namun Kakang Kota Malang 2006 ini dengan ciamik menata barang dagangannya, sehingga terkesan rapi (mungkin karena Papa Piyoh dulunya pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya, Malang. Ada pengaruhnya kan Jrah?), ditambah lagi layanan yang super ramah bikin pengunjung betah berlama-lama. Selain kaos, outlet Mr. Piyoh juga menjual berbagai pernak-pernaik Aceh seperti mug, gantungan kunci, bros, boneka, juga bermacam produk olahan seperti cokelat dan kerupuk mulieng.

Jujur, dulu saya agak ragu ketika pertama kali ia mencetuskan nama Piyoh untuk merk dagangnya. “Apa nggak kesulitan ntar orang asing mengucapkannya?”, begitu tanya saya. Karena ia akan membuka Piyoh di Kota Sabang dan dapat dipastikan konsumen Piyoh nanti tidak hanya penduduk lokal. Saya khawatir orang bule bakal kesulitan mengeja Piyoh, salah-salah Piyoh malah dibaca ‘payeh’. Nggak lucu kan kalau ntar ada bule yang bertanya dimana lokasi Piyoh, lantas karena salah ucap dia diarahkan ke emak-emak penjual ikan (payeh sejenis ikan pepes-bahasa aceh). Namun dia bergeming dan menanggapi santai ketakutan saya. Kini ia benar-benar membuktikan kalau saya salah. Ini terlihat dari berbagai capaian yang berhasil ia torehkan. Dan saya kira Hijrah sudah cukup berhasil memperkenalkan Aceh kemana-mana, bisa dilihat kaos produksi Piyoh yang melalang buana ke seantero Indonesia bahkan mancanegara. Sesuai dengan tagline outlet Mr. Piyoh: ‘Berbagi Aceh Dimana Aja!’

Dan saya harus bilang pada sahabat terbaik saya ini: Saya salut sama kamu bro! (bukan bro yang di Sabang ya). *Angkat topi

Selamat Milad Jrah! Moga makin sukses. Amin

NB: Jangan lupa jalan-jalan gratis ke Sabang ;)

 

Sample text

Sample Text

Sample Text